-->

Warok Ponorogo


Dulu pada abad ke XV Ponorogo itu bernama wengker, yaitu daerah kekuasaan Majapahit yang waktu itu dipimpin Prabu Brawijaya ke V. Wengker waktu itu dipimpin oleh seorang demang yang bernama KiAgeng Suryongalam atau Ki Ageng Kutu, karena tinggal didesa Kutu, Jetis, Ponorogo. KI Ageng Kutu orang yang sakti mandraguna. Biasanya daerah kekuasaan seperti Wengker itu jaman dulu mesti harus asok upeti ke penguasaannya yaitu Majapahit. Tapi ki Demang ini agak mbelot, sudah beberapa tahun tidak mau menghadap dan kirim upeti. Mesti saja Sang Raja mengamuk dan menyuruh utusan untuk mengklarifikasi hal itu. Sebagai utusan adalah kebetulan Puteranya sendiri yaitu Lembu Kanigoro. Segera sang Pangeran ini berangkat menuju Wengker tapi rupannya mampir dahulu di tempat kakaknya yaitu Raden Patah yang menjadi penguasa di Demak. Di situ Sang Pangeran sempat belajar taktik perang dan agama Islam. Lembu Kanigoro ini pintar dan cepat menjadi ahli, setelah memeluk agama Islam berganti nama menjadi Bethoro Kathong atau Raden Kathong.
Selanjutnya meneruskan lakunya ke Wengker ditemani abdi bernama Selo Aji dan kebetulan setelah tiba disana bertemu dengan seorang muslim taat yang bernama Ki Ageng Mirah. Dari situ Raden Kathong menyusun kekuatan untuk bertemu dengan Ki Ageng Kutu dengan baik-baik, tapi tetap saja menolak dan melawan utusan ini. Akhirnya terjadilah perang tanding adu kasekten dan Raden Kathong mengalami kekalahan. Selanjutnya Raden Kathong menikahi puteri Ki Demang yang bernama Niken Sulastri, barulah bisa mengalahkannya, yaitu dengan cara mengambil pusaka saktinya Kiai Puspito Rawe. Pada saat Ki Ageng Suryongalam (Ki Kutu) menjadi Demang di daerah Wengker beliau mendirikan perguruan kanuragan yang mengajarkan ilmu kesaktian dan kebathinan, muridnya banyak dan rata-rata menjadi sakti mandraguna. Hal itu dikarenakan ilmu yang diajarkan KiAgeng begitu berat, siapa yang mampu bertapa brata dan menghindari perempuan maka akan sempurna ilmu kesaktiannya. Nah, setelah KiAgeng Kutu ini kalah karena pusakanya sendiri dan mangkat, para pengikut dan murid-muridnya dikumpulkan oleh Raden Kathong, diarahkan untuk menjadi Manggala Negeri. Demikian juga dengan tempat-tempat perguruan tersebut dijadikan tempat untuk menggembleng para pemuda, guna menjadi satria-satria untuk pertahanan daerah yang baru didirikan yaitu Bumi Ponorogo, dan Raden Bethoro Kathong menjadi bupati pertamanya. Para manggala sakti inilah yang pada akhirnya disebut Warok, yaitu para satria yang patriotik pejuang untuk membela Negeri dan berbudi luhur, berwatak jujur, orang-orang yang bertanggung jawab, rela berkorban untuk kepentingan orang laen. Suka bekerja keras tanpa pamrih, adil dan tegas, banyak ilmu, kaweruh luhur, dan tentunya sakti mandraguna.
Warok bisa diartikan sangat luas, seluas kultur budaya Ponorogo itu sendiri. Warok merupakan kebanggaan masyarakat Ponorogo dan memang begitulah pada dasarnya watak, karakter dan jiwa yang dimiliki oleh masyarakat Ponorogo,sudah mendarah daging, paling tidak semangatnya begitu. Merujuksejarah warok itu mesti berpenampilan sangar, kumis dan jenggotnya lebat brewok, pakaiannya serba hitam, baju polong gulo, celana panjang hitam lebar memakai kain kebet (batik latar ireng) tutup kepala udeng dengan mendolan dan ini yang menjadi ciri kas usus-usus (kolor) warna putih panjang dan besar menjulur sampai kaki.
Lha karena itu masyarakat sangat mengidolakan keberadaan warok tersebut, ialah untuk uri-uri budoyo. Maka timbullah didalam kesenian (penampilan Reog) selalu ada yang namanya Warokan, yang kurang lebihnya adalah, tiruan dari penampilan Warok itu dahulunya. Warokan yang ssring kita lihat pada setiap pertunjukan biasanya ada Warok muda dan Warok tua,bahkan pada saat Grebek Suro di Ponorogo sampai saat ini semua unsur masyarakat dan pemerintah sepertinya berkewajiban memakai buzana warokan tersebut.

0 Response to "Warok Ponorogo"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel